Selasa, 05 Mei 2009

seminar TAK Lansia di Balai Perlindungan Sosial Provinsi Banten

MAKALAH
TERAPI AKTIVITAS KELOMPOK LANSIA
DI BALAI PERLINDUNGAN SOSIAL
PROVINSI BANTEN TAHUN 2009











Di Susun Oleh :
GERBONG A PSIK
ANGKATAN IV





PRAKTEK PROFESI KEPERAWATAN GERONTIK
PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN
SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN FALETEHAN (STIKes-FA)
SERANG – BANTEN
2009



KATA PENGANTAR




Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya kepada kami sehinga dapat menyusun Makalah dengan judul “Terapi Aktivitas Kelompok bagi Lansia Di Balai Perlindungan Sosial (BPS) Provinsi Banten Tahun 2009” tepat pada waktunya.
Adapun tujuan dari penyusunan makalah ini adalah untuk memenuhi salah satu tugas praktek profesi ners keperawatan gerontik yang dilakukan selama 3 minggu dari tanggal 13 April 2009 sampai dengan 01 Mei 2009.
Dalam menyusun makalah ini kami menemui beberapa kendala, tetapi berkat bimbingan, arahan dan dukungan dari berbagai pihak akhirnya kami dapat menyelesaikan penyusunan makalah ini.
Pada kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih semua pihak yang telah memberikan bantuan moril maupun materil sehingga makalah ini dapat terselesaikan. Terima kasih ini kelompok sampaikan kepada :
1. Ibu Dra. Neltri Suharti, Apt. MM sebagai Kepala Balai Perlindungan Sosial Provinsi Banten.
2. Bapak Bambang Kuntarto, S.Kp, M.Kes. sebagai Ketua Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Faletehan Serang.
3. Bapak Agus Triyanto, S.Pd. M.Si sebagai Kepala Sub. Bagian Tata Usaha Balai Perlindungan Sosial Provinsi Banten
4. Ibu Watty Rosmawaty ,SE sebagai Seksi Pelayanan dan Perawatan Balai Perlindungan Sosial Provinsi Banten
5. Bapak H. Sukaemi, S.Pd sebagai pelaksana Balai Perlindungan Sosial Provinsi Banten
6. Bapak Dedih Nuryatna,S.Kp selaku Koordinator Praktek profesi Ners sekaligus Pembimbing praktek profesi keperawatan gerontik.
7. Bapak Deni Suwardiman, S.Kp. Selaku Pembimbing Praktek profesi keperawatan gerontik.
8. Ibu Leny Stia Pusporini, S.Kp. Selaku Pembimbing Praktek profesi keperawatan gerontik
9. Ibu Endang Am. Kep selaku Perawat Poliklinik Balai Perlindungan Sosial Provinsi Banten
10. Seluruh perawat dan pegawai di Balai Perlindungan Sosial Provinsi Banten
11. Seluruh dosen STIKes Faletehan Serang yang telah membimbing kami.
12. Rekan-rekan mahasiswa yang telah membantu baik ide, moril dan materil.
Kelompok menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini masih banyak kekurangannya. Oleh karena kami masih mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun bagi kelompok khususnya dan bagi para pembaca pada umumnya. Akhirnya, semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi para pembaca





BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang

Gerontology is concerned primarily with problem of healthy aging rather than the prevention of aging”, sehingga tindakan preventif pada masalah kesehatan akibat penuaan menjadi lebih penting, daripada preventif penuaan. Pentingnya menjaga kualitas hidup lansia, mendorong Kalache untuk memperkenalkan konsep “active ageing”.kemudian Untuk itu diperlukan upaya guna menekan limitasi aktifitas fisik dasar ataupun memperbaiki keadaan limitasi aktifitas fisik dasar menjadi abilitas. Sejak tahun 1980 Amerika telah melakukan berbagai upaya untuk menurunkan angka limitasi aktifitas fisik dasar dan berhasil meningkatkan persen lansia yang bebas dari limitasi aktifitas fisik dasar atau mampu beraktifitas fisik dasar. Laporan Departement Health and Human Services Amerika (2003) menunjukkan, angka peningkatan aktifitas fisik dasar pada lansia kelompok usia 65 tahun keatas naik dari 71% di tahun 1984 menjadi 74,7% di tahun 1999 dan 82% di tahun 2002, sedangkan angka limitasi aktifitas fisik dasar kronis turun dari 22,1% di tahun 1984 menjadi 19,7% di tahun 1999, dan tahun 2002 menjadi 16%. Aktifitas fisik dasar pada laporan tersebut diukur berdasarkan kemampuan aktivitas fisik keseharian atau yang dikenal dengan ADL/ Activities of Daily Living dengan menggunakan indeks KATZ.
Manusia adalah makhluk sosial untuk mencapai kepuasan dalam kehidupan, mereka harus membina hubungan interpersonal yang telah terjadi jika individu terlihat personal, jika individu yang terlihat saling merasakan kedekatan, sementara identitas pribadi masih dipertahankan (Stuart and Sundeen 1998).
Balai Perlindungan Sosial Propinsi Banten merupakan unit pelaksanaan teknis daerah (UPTD) pada dinas sosial dan tenaga kerja provinsi banten yang melaksanakan pelayanan kesejahteraan sosial kepada lanjut usia, anak balita terlantar, wanita korban tindak kekerasan, dan penyandang cacat grahita atau retradasi. Jumlah lansia di Balai Perlindungan Sosial adalah sebanyak 33 orang, jumlah lansia laki-laki sebanyak 16 orang dan jumlah lansia perempuan sebanyak 17 orang. Jumlah lansia dari tiap wisma yaitu pada wisma mawar terdapat 4 orang lansia, wisma baru 5 lansia, wisma isolasi terdapat 7 orang lansia, wisma kenanga sebanyak 8 orang lansia, wisma bougenville sebanyak 4 orang lansia, wisma edelweis sebanyak 5 orang lansia. Berdasarkan latar belakang tersebut maka kami tertarik untuk menyusun makalah mengenai Terapi Aktivitas Kelompok Lansia di Balai Perlindungan Sosial Provinsi Banten Tahun 2009.

1.2. Tujuan Penulisan
Tujuan umum yaitu merangsang kemampuan kognitif dan psikomotor klien sehingga klien mampu mempertahankan orientasi realitasnya (bersosialisasi, mengenali orang, tempat, dan waktu sesuai dengan kenyataan).
Tujuan khususnya adalah:
1.2.1. Klien mampu meningkatkan rasa percaya diri
1.2.2. Klien mampu mengenal tempat ia berada dan pernah berada
1.2.3. Klien mengenal waktu dengan tepat.
1.2.4. Klien dapat mengenal diri sendiri dan orang-orang di sekitarnya dengan tepat.

1.3. Manfaat Penulisan

Adapun manfaat penyusunan makalah terapi aktivitas kelompok pada lansia adalah sebagai masukan dan bahan perbandingan bagi Balai Perlindungan Sosial Provinsi Banten dalam memberikan Pelayanan kepada kepada Lansia penghuni wisma.



1.4. Metode Penulisan

Metode penulisan yang kami gunakan dalam penyusunan makalah terapi aktivitas kelompok bagi lansia adalah Library Research (Studi Kepustakaan) dan Networking Reseacrh ( Internet ) agar mempermudah kami dalam mengumpulkan sumber-sumber yang berkaitan dengan lansia dan terapi aktivitas kelompok lansia.
























BAB II
TINJAUAN TEORI
2.1. Konsep Lansia

Menurut oraganisasi kesehatan dunia (WHO), lanjut usia meliputi:
Usia pertengahan (middle age) ialah kelompok usia 45 sampai 59 tahun.
2) Lanjut usia (elderly) antara 60 – 74 tahun
3) Lanjut usia tua (old) antara 75 – 90 tahun
4) Usia sangat tua (very old) di atas 90 tahun
Proses Menua
Pada hakekatnya menjadi tua merupakan proses alamiah yang berarti seseorang telah melalui tiga tahap kehidupannya yaitu masa anak, masa dewasa dan masa tua (Nugroho, 1992). Tiga tahap ini berbeda baik secara biologis maupun psikologis. Memasuki masa tua berarti mengalami kemuduran secara fisik maupun psikis. Kemunduran fisik ditandai dengan kulit yang mengendor, rambut memutih, penurunan pendengaran, penglihatan memburuk, gerakan lambat, kelainan berbagai fungsi organ vital, sensitivitas emosional meningkat dan kurang gairah.
Meskipun secara alamiah terjadi penurunan fungsi berbagai organ, tetapi tidak harus menimbulkan penyakit oleh karenanya usia lanjut harus sehat. Sehat dalam hal ini diartikan:
1) Bebas dari penyakit fisik, mental dan sosial,
2) Mampu melakukan aktivitas untuk memenuhi kebutuhan sehari – hari,
3) Mendapat dukungan secara sosial dari keluarga dan masyarakat (Rahardjo, 1996)
Akibat perkembangan usia, lanjut usia mengalami perubahan – perubahan yang menuntut dirinya untuk menyesuakan diri secara terus – menerus. Apabila proses penyesuaian diri dengan lingkungannya kurang berhasil maka timbullah berbagai masalah. Hurlock (1979) seperti dikutip oleh MunandarAshar Sunyoto (1994) menyebutkan masalah – masalah yang menyertai lansia yaitu: Ketidakberdayaan fisik yang menyebabkan ketergantungan pada orang lain, 2Ketidakpastian ekonomi sehingga memerlukan perubahan total dalam pola hidupnya, Membuat teman baru untuk mendapatkan ganti mereka yang telah meninggal atau pindah,
Mengembangkan aktifitas baru untuk mengisi waktu luang yang bertambah banyak dan Belajar memperlakukan anak – anak yang telah tumbuh dewasa. Berkaitan dengan perubahan fisk, Hurlock mengemukakan bahwa perubahan fisik yang mendasar adalah perubahan gerak.
Lanjut usia juga mengalami perubahan dalam minat. Pertama minat terhadap diri makin bertambah. Kedua minat terhadap penampilan semakin berkurang. Ketiga minat terhadap uang semakin meningkat, terakhir minta terhadap kegiatan-kegiatan rekreasi tak berubah hanya cenderung menyempit. Untuk itu diperlukan motivasi yang tinggi pada diri usia lanjut untuk selalu menjaga kebugaran fisiknya agar tetap sehat secara fisik. Motivasi tersebut diperlukan untuk melakukan latihan fisik secara benar dan teratur untuk meningkatkan kebugaran fisiknya.
Berkaitan dengan perubahan, kemudian Hurlock (1990) mengatakan bahwa perubahan yang dialami oleh setiap orang akan mempengaruhi minatnya terhadap perubahan tersebut dan akhirnya mempengaruhi pola hidupnya. Bagaimana sikap yang ditunjukkan apakah memuaskan atau tidak memuaskan, hal ini tergantung dari pengaruh perubahan terhadap peran dan pengalaman pribadinya. Perubahan ynag diminati oleh para lanjut usia adalah perubahan yang berkaitan dengan masalah peningkatan kesehatan, ekonomi/pendapatan dan peran sosial (Goldstein, 1992)
Dalam menghadapi perubahan tersebut diperlukan penyesuaian. Ciri- ciri penyesuaian yang tidak baik dari lansia (Hurlock, 1979, Munandar, 1994) adalah: Minat sempit terhadap kejadian di lingkungannya. Penarikan diri ke dalam dunia fantasi Selalu mengingat kembali masa lalu Selalu khawatir karena pengangguran, Kurang ada motivasi, Rasa kesendirian karena hubungan dengan keluarga kurang baik, dan Tempat tinggal yang tidak diinginkan.
Di lain pihak ciri penyesuaian diri lanjut usia yang baik antara lain adalah: minat yang kuat, ketidaktergantungan secara ekonomi, kontak sosial luas, menikmati kerja dan hasil kerja, menikmati kegiatan yang dilkukan saat ini dan memiliki kekhawatiran minimla trehadap diri dan orang lain.

2.2. Pengertian Terapi Aktivitas Kelompok
Kelompok merupakan individu yang mempunyai hubungan satu dengan yang lain saling ketergantungan dan mempunyai norma yang sama (Stuart & Sundeen, 1998)
Aktivitas kelompok adalah kumpulan individu yang mempunyai relasi atau hubungan satu dengan yang lain saling terkait dan dapat bersama-sama mengikuti norma yang sama.
Therapy Aktivitas Kelompok (TAK) merupakan kegiatan yang diberikan kelompok klien dengan maksud memberi therapy bagi anggotanya. Dimana berkesempatan untuk meningkatkan kualitas hidup dan meningkatkan respon social. Therapy Aktivitas Kelompok Sosialisasi adalah upaya memfasilitasi sejumlah klien dalam membina hubungan sosial yang bertujuan untuk menolong klien dalam berhubungan dengan orang lain seperti kegiatan mengajukan pertanyaan, berdiskusi, bercerita tentang diri sendiri pada kelompok, menyapa teman dalam kelompok.
Terapi Aktivitas Kelompok Oientasi Realita (TAK): orientasi realita adalah upaya untuk mengorientasikan keadaan nyata kepada klien, yaitu diri sendiri, orang lain, lingkungan/ tempat, dan waktu.

2.3. Tujuan Terapi Aktivitas Kelompok
Tujuan dari terapi aktivitas kelompok :
1) Mengembangkan stimulasi persepsi
2) Mengembangkan stimulasi sensoris
3) Mengembangkan orientasi realitas
4) Mengembangkan sosialisasi

2.4. Prinsip-prinsip memilih peserta terapi aktivitas kelompok
Prinsip memilih pasien untuk terapi aktifitas kelompok adalah homogenitas, yang dijabarkan antara lain;
1. Gejala sama
Misal terapi aktifitas kelompok khusus untuk pasien depresi, khusus untuk pasien halusinasi dan lain sebagainya. Setiap terapi aktifitas kelompok memiliki tujuan spesifik bagi anggotanya, bisa untuk sosialisasi, kerjasama ataupun mengungkapkan isi halusinasi. Setiap tujuan spesifik tersebut akan dapat dicapai bila pasien memiliki masalah atau gejala yang sama, sehingga mereka dapat bekerjasama atau berbagi dalam proses terapi.

2. Kategori sama
Dalam artian pasien memiliki nilai skor hampir sama dari hasil kategorisasi. Pasien yang dapat diikutkan dalam terapi aktifitas kelompok adalah pasien akut skor rendah sampai pasien tahap promotion. Bila dalam satu terapi pasien memiliki skor yang hampir sama maka tujuan terapi akan lebih mudah tercapai.

3. Jenis kelamin sama
Pengalaman terapi aktifitas kelompok yang dilakukan pada pasien dengan gejala sama, biasanya laki-laki akan lebih mendominasi dari pada perempuan. Maka lebih baik dibedakan.

4. Kelompok umur hampir sama
Tingkat perkembangan yang sama akan memudahkan interaksi antar pasien.

5. Jumlah efektif 7-10 orang per-kelompok terapi
Terlalu banyak peserta maka tujuan terapi akan sulit tercapai karena akan terlalu ramai dan kurang perhatian terapis pada pasien. Bila terlalu sedikitpun, terapi akan terasa sepi interaksi dan tujuanya sulit tercapai.

2.5. Manfaat Terapi Aktivitas Kelompok Bagi Lansia

• Agar anggota kelompok merasa dimiliki, diakui, dan di hargai eksistensinya oleh anggota kelompok yang lain
• Membantu anggota kelompok berhubungan dengan yang lain serta merubah perilaku yang destrkutif dan maladaptif
• Sebagai tempat untuk berbagi pengalaman dan saling mambantu satu sama lain unutk menemukan cara menyelesaikan masalah

2.6. Jenis-jenis Terapi Aktivitas Kelompok pada Lansia

2.6.1. Stimulasi Sensori (Musik)

Musik dapat berfungsi sebagai ungkapan perhatian, baik bagi para pendengar yang mendengarkan maupun bagi pemusik yang menggubahnya. Kualitas dari musik yang memiliki andil terhadap fungsi-fungsi dalam pengungkapan perhatian terletak pada struktur dan urutan matematis yang dimiliki, yang mampu menuju pada ketidakberesan dalam kehidupan seseorang. Peran sertanya nampak dalam suatu pengalaman musikal, seperti menyanyi, dapat menghasilkan integrasi pribadi yang mempersatukan tubuh, pikiran, dan roh. Bagi penyanyi dalam sebuah kelompok, musik memberikan suatu komunikasi yang intim dan emosional antara pemimpin dan anggota kelompok secara individu, juga antara anggota itu sendiri, dan masih terjadi ketika hubungan antarpribadi itu menjadi terbatas dan pecah. Musik dapat mempersatukan suatu kelompok yang beraneka ragam menjadi suatu unit yang fungsional. Fungsi musik sebagai ungkapan perhatian dapat dilihat ketika musik dialami sebagai suatu pemberian dari orang-orang yang kelihatannya tidak memiliki apa-apa.
1. Musik sebagai Terapi dan Ungkapan Perhatian
Penggunaan musik sebagai ungkapan perhatian dan suatu terapi tambahan bagi konseling pastoral melibatkan integrasi dari beberapa disiplin sejarah: pendidikan musik, pelayanan musik, dan terapi musik. Terapi musik merupakan yang paling muda dari ketiga bidang ini dan yang langsung berhubungan dengan aplikasi klinis musik.
Kata "terapi" dalam konteks ini berarti lebih daripada sekadar "penyembuhan suatu penyakit". Di zaman stres, penuh keraguan, penuh perpecahan, putus asa, dan kekalahan ini, musik dapat disebut sebagai terapi untuk menstimulasi, memulihkan, menghidupkan, mempersatukan, membuat seseorang peka, menjadi saluran, dan memerdekakan. Terapi musik memiliki suatu kapasitas yang unik dan mapan sehingga memungkinkan terjadinya perubahan hidup.
Musik merupakan bagian dari musik temporal, yaitu bahwa musik hadir dalam tari dan drama. Musik mengandung kumpulan yang sistematis dan teratur dari berbagai komponen suara irama, melodi, dan keselarasan untuk dapat dilihat dan dinikmati. Musik, seperti bentuk seni lainnya, merupakan ekspresi yang penuh gaya. Musik melibatkan pengelolaan serta keterampilan dari materi artistik sehingga dapat menyajikan atau mengomunikasikan suatu hal tertentu, gagasan, atau keadaan perasaan.
Musik dapat ditinjau dari berbagai sudut pandang: sejarah, teori, filsafat, estetika, atau fungsional. Musik yang fungsi utamanya lebih bersifat sosiologis atau psikologis daripada estetika murni disebut musik fungsional. Dengan perkataan lain, ketika musik digunakan dengan tujuan utama lebih menitikberatkan pada musiknya, maka saat itu berarti musik telah digunakan secara fungsional. Penggunaan musik secara estetika, di pihak lain, merupakan "musik demi musik belaka" atau "musik demi kepuasan artistik". Sebenarnya, pada batas tertentu kebanyakan musik memiliki kedua fungsi tersebut sehingga suatu klasifikasi yang eksak kadang-kadang sulit diperoleh.
Suatu pembedaan seharusnya dibuat antara penggunaan musik secara terapis yang dibawakan dalam wujud informal dan tanpa bentuk dengan penggunaan terapi musik sebagai suatu dimensi khusus dari suatu cara terapi yang terintegrasi. Mula-mula pengalaman musikal dapat dipilih sendiri oleh pasien atau diusulkan oleh terapis, mungkin dapat juga dilakukan dengan memasukkan aktivitas-aktivitas seperti berperan serta dalam paduan suara gereja atau koor umum, menghadiri pagelaran musik, ikut pelajaran musik, dan lain-lain. Ini mengingat terapi musik formal sering menggunakan irama sederhana dan instrumen perkusi yang dapat dimainkan oleh hampir setiap orang.
Dalam sebuah klinik, seseorang dapat juga memperoleh pengalaman musikal dengan "nilai terapetis" yang tidak berupa terapi musik formal. Misalnya, mereka dapat berpartisipasi dengan nyanyi bersama dalam acara rekreasi, mendengarkan rekaman musik yang inspiratif, atau menyanyikan lagu pujian di sisi tempat tidur pasien.
Di pihak lain, terapi musik sebagai disiplin saintifik, menyangkut pemanfaatan secara hati-hati dan sengaja dari semua dinamika mendalam dan potensial yang berhubungan dengan pengalaman musikal, termasuk memilih, memasang, dan memainkan musik itu sendiri, selain hubungannya dengan interaksi antara terapis dan pasien.
Dalam arti yang lebih formal, terapi musik dapat dijabarkan sebagai suatu aktivitas kelompok secara umum dari lingkungan pergaulan terapetik dalam bentuk kelompok nyanyi, koor atau ensambel musik, dan kelas apresiasi musik atau secara perseorangan dapat ditujukan kepada pasien tertentu berdasarkan kebutuhan terapi mereka yang unik dan kecakapan dalam bentuk vokal atau latihan instrumen dan teori musik dan pelajaran komposisi.
Pilihan materi musik, medium musik, tingkat kompleksitas, dan sasaran terapetik merupakan keputusan dan kesepakatan antar terapis, dan antara terapis musik dan pasien. Seperti dalam semua cara terapi, terapi musik menyangkut penilaian terhadap pasien, aktivitas yang akan dilakukan (termasuk sasaran), pengalaman terapetik, dan evaluasi.
Kadang-kadang terapi musik dapat digabungkan secara efektif dengan aktivitas seni lain yang kreatif, misalnya menari, psikodrama, puisi dan tulisan kreatif, melukis dan membuat patung, dan bermacam bentuk terapi pertukangan (kerajinan tangan, perkayuan, dan hortikultura). Selanjutnya, setiap terapi tambahan dapat menjadi kapasitas yang unik untuk menstimulasi dan mengaktualisasikan potensi kreatif yang dimiliki individu. Secara psikologis, semua bentuk ekspresi artistik memiliki kapasitas untuk memberi kepuasan kebutuhan akan ego dasar dari individu, terutama untuk merasa memiliki, mencapai, mengungguli, memuja, memimpikan, mengasihi dan dikasihi, dan mengembangkan suatu citra diri yang positif.
Terapi musik menempati posisinya yang kuat di antara terapi- terapi seni kreatif karena beberapa alasan. Pertama, musik secara tradisional dan secara benar disebut sebagai "bahasa universal". Setiap kultur memiliki tradisi musikal yang mencakup seluruh bidang kehidupan agama, sosial, estetika, dan komersial. Kedua, musik merupakan seni yang serba guna dan dapat diperoleh. Hampir setiap orang dapat terlibat dalam aktivitas musik dengan kadar kemampuan yang sama. Akhirnya yang ketiga, musik, terutama musik vokal dengan campuran musik dan puisi, mampu mengekspresikan dan membangkitkan seluruh tangga nada emosi, nilai-nilai, aspirasi, serta pengalaman manusia.
2. Musik sebagai Terapi Tingkah Laku
Terapi musik lebih dari sekadar penghiburan; lebih daripada sekadar pengalaman yang mendidik atau suatu aktivitas sosial, walaupun pada batas tertentu berfungsi sebagai penghiburan, bersifat mendidik, dan maksud-maksud sosial. Secara teknis, terapi musik telah didefinisikan sebagai "suatu sistem yang telah dikembangkan secara maksimal untuk menstimulasi dan mengarahkan tingkah laku untuk mencapai sasaran terapi yang benar-benar jelas". Salah satu penyajian yang terbaik dan paling singkat dari kerangka konseptual ini adalah yang diberikan oleh William Sears dalam makalahnya yang berjudul "Proces in Music Therapy".


a. Musik memberikan pengalaman di dalam struktur
Sasarannya ialah untuk memperpanjang komitmen kepada aktivitas, untuk membuat aneka ragam komitmen, dan menumbuhkan kesadaran akan manfaat yang diperoleh. Dengan cara yang tidak memaksa, musik menuntut tingkah laku yang sesuai dengan urutan waktu, realitas yang teratur, kecakapan yang teratur, dan pengaruh yang teratur. Musik menimbulkan gagasan dan asosiasi ekstramusikal.
b. Musik memberikan pengalaman dalam mengorganisasi diri
Pengalaman memengaruhi sikap, perhatian, nilai-nilai, dan pengertian seseorang. Sasaran harus memberikan kepuasan sehingga seseorang akan berusaha untuk memperoleh lebih banyak pengalaman serupa yang aman, baik, dan nikmat. Musik menyediakan kesempatan untuk ekspresi diri dan untuk memperoleh kecakapan baru yang memperkaya citra diri (terutama bagi yang memiliki keterbatasan tubuh/cacat).
c. Musik memberikan pengalaman dalam hubungan antar pribadi
Musik merupakan kesempatan untuk pertemuan kelompok di mana individu telah mengesampingkan kepentingannya demi kepentingan kelompok. Sasarannya ialah untuk memperbanyak jumlah anggota dalam kelompok, menambah jangkauan dan variasi interaksi, dan menyediakan pengalaman yang akan memudahkan melakukan adaptasi terhadap kehidupan di luar lembaga. Pengalaman kelompok memungkinkan seseorang berbagi rasa secara intens dalam cara- cara yang secara sosial dapat diterima; musik memberikan penghiburan dan rekreasi yang diperlukan bagi lingkungan terapi secara umum. Juga bantuan pengalaman dalam pengembangan kecakapan sosial secara realitis dan pola tingkah laku pribadi yang dapat diterima secara lembaga dan kelompok sebaya dalam masyarakat.



2.6.2. Stimulasi Persepsi
Klien dilatih mempersepsikan stimulus yang disediakan atau stimulus yang pernah dialami. Kemampuan persepsi klien dievaluasi dan ditingkatkan pada tiap sesi. Dengan proses ini maka diharapkan respon klien terhadap berbagai stimulus dalam kehidupan menjadi adaptif.
Aktifitas berupa stimulus dan persepsi. Stimulus yang disediakan : seperti baca majalah, menonton acara televisi ; stimulus dari pengalaman masa lalu yang menghasilkan proses persepsi klien yang mal adaptif atau destruktif, misalnya kemarahan dan kebencian .

2.6.3. Orientasi Realitas
Klien diorientasikan pada kenyataan yang ada disekitar klien, yaitu diri sendiri, orang lain yang ada disekeliling klien atau orang yang dekat dengan klien, dan lingkungan yang pernah mempunyai hubungan dengan klien. Demikian pula dengan orientasi waktu saat ini, waktu yang lalu, dan rencana ke depan. Aktifitas dapat berupa : orientasi orang, waktu, tempat, benda yang ada disekitar dan semua kondisi nyata.

2.6.4. Sosialisasi
Klien dibantu untuk melakukan sosialisasi dengan individu yang ada disekitar klien. Sosialisasi dapat pula dilakukan secara bertahap dari interpersonal (satu dan satu), kelompok, dan massa. Aktifitas dapat berupa latihan sosialisasi dalam kelompok.





2.7. Nilai Terapeutik Dari Terapi Aktivitas Kelompok
• Pembinaan harapan
• Universalitas
• Altruism
• Penyebaran informasi
• Kelompok sebagai keluarga
• Sosialisasi
• Belajar berhubungan dengan pribadi lain
• Kohesivitas
• Katarsis dan Peniruan perilaku

2.8. Hal-Hal Yang Perlu Diperhatikan Dalam Terapi Aktivitas Kelompok
 Memperkenalkan diri
 Tujuan kegiatan
 Jenis kegiatan
 Contoh kegiatan
 Kontrak
 Aturan main disepakati
 Evaluasi
 Reward jangan berlebihan

2.9. Fokus Terapi Aktivitas Kelompok
 Orientasi realitas
 Sosialisasi
 Stimulasi persepsi
 Stimulasi sensori
 Pengeluran energi



2.10. Model Dalam Terapi Aktivitas Kelompok
 Fokal konflik model
• Mengatasi konflik yang tidak disadari
• Terapis membantu kelompok memahami terapi
• Digunakan bila ada perbedaan pendapat antar anggota kelompok
 Communication model
• Mengembangkan komunikasi: verbal, non verbal, terbuka
• Pesan yang disampaikan dipahami orang lain
 Model interpersonal
• Terapis ekerja dengan individu dan kelompok
• Anggota kelompok belajar dari interaksi antara anggota dan terapis
• Melalui proses interaksi: tingkah laku dapat dikoreksi

 Model psikodrama
• Aplikasi dari bermain peran dalam kehidupan

2.11. Tahapan Dalam Terapi Aktivitas Kelompok
 Fase pre-kelompok: membuat tujuan
 Fase awal:
• Tahap orientasi: penentu sistem konflik sosial
• Tahap konflik: penentu siapa yang menguasai komunikasi
• Tahap kohesif: kebersamaan dalam pemecahan masalah
 Fase kerja:
• Fase yang menyenangkan bagi anggota dan pimpinan
• Kelompok menjadi stabil dan realistis
 Fase terminasi
• Muncul cemas, regresi
• Evaluasi dan feedback sangat penting
• Follow up

BAB III
PEMBAHASAN DAN HASIL TAK
Pada bab ini akan dibahas tentang kegiatan Terapi Aktivitas Kelompok (TAK) yang dilakukan dari TAK kecil (tiap wisma) dan TAK besar (di ikuti oleh seluruh wisma) dan hambatan yang ditemukan selama kegiatan TAK pada klien dan pemecahan masalah yang telah dilakukan.
Wisma Baru mengadakan TAK tentang Diskusi Kasus yang bertujuan agar klien mampu meningkatkan hubungan interpersonal, yang di ikuti oleh 3 orang. Hasil yang di peroleh sekitar 80% peserta dapat mengikuti kegiatan TAK diskusi kasus dan dapat memberikan pendapatnya tentang kasus yang diberikan.
Wisma mawar mengadakan TAK tentang peningkatan rasa percaya diri lansia yang bertujuan agar klien mampu mengekspresikan kemampuan yang dimiliki (bernyanyi, ceramah, dan bermain musik), yang di ikuti oleh 4 orang. Hasil yang di peroleh sekitar 75% peserta dapat mengikuti kegiatan TAK dan 25% peserta tidak dapat mengikuti kegiatan TAK.
Wisma Isolasi mengadakan TAK tentang menggambar yang bertujuan dapat mengekspresikan melalui gambar, yang di ikuti oleh 5 orang. Hasil yang diperoleh sekitar 80% peserta dapat mengikuti kegiatan TAK dan dapat mengekspresikan melalui gambar, sedangkan 20% tidak dapat mengikuti dan mengekspresikan melalui gambar.
Wisma kenanga mengadakan TAK tentang recall memori dan stimulasi warna yang bertujuan mampu mengenal orientasi realita dan mampu membedakan warna sebagai stimulus sensori, yang di ikuti oleh 8 orang. Hasil yang diperoleh sekitar 75% peserta dapat mengikuti kegiatan TAK dan dapat mengingat kembali, sedangkan 87,5% dapat memilih dan membedakan warna.
Wisma Bougenville mengadakan TAK tentang tanya jawab dan komunikata yang bertujuan dapat bersosialisasi dan meningkatkan kerja sama serta saling mendukung, mengasah memori terutama memori jangka pendek klien dan mengasah indera pengdengaran, yang di ikuti oleh 3 orang. Hasil yang diperoleh sekitar 100% peserta dapat mengikuti kegiatan TAK dan menjawab semua pertanyaan dengan benar.
Wisma edelweis mengadakan TAK tentang aspek kognitif (orientasi dan perhatian kalkulasi), yang bertujuan dapat mempertahankan fungsi kognitif yang dimiliki yaitu aspek kognitif (orentasi dan perhatian kalkulasi), yang di ikuti oleh 3 orang. Hasil yang diperoleh sekitar 75% peserta dapat menjawab pertanyaan yang di berikan.dan 25 % peserta tidak dapat menjawab pertanyaan yang diberikan.
Hasil TAK besar 100% peserta dapat memperagakan busana yang dipakai, 90% peserta dapat menjawab pertanyaan yang diberikan tim terapis, 100% peserta TAK dapat merasakan kebahagiaan dan kesenangan dengan adanyan TAK. Adapun dibawah ini adalah peserta yang mengikuti kegiatan TAK besar adalah :
 Ny S.
Klien kooperatif dalam kegiatan TAK, klien juga tampak senang dan klien dapat mengikuti TAK dari awl sampai akhir. Dari penampilannya klien cukup baik, klien tampak berbusana rapi, dan gaya berjalan klien juga tampak baik, klien berjalan tegap tidak membungkuk ataupun memerlukan bantuan dan klien dapat menjawab semua pertanyaan dari tiga pertanyaan yang diberikan oleh tim terapis.
 Ny T.
Klien kooperatif dalam kegiatan TAK, klien juga tampak senang dan klien dapat mengikuti TAK dari awal sampai akhir. Dari penampilannya klien baik, klien tampak berbusana rapi, dan gaya berjalan klien sedang, klien berjalan dengan kaki diseret dan klien dapat menjawab satu pertanyaan dari tiga pertanyaan yang diberikan oleh tim terapis.
 Tn R.
Klien kooperatif dalam kegiatan TAK, klien juga tampak senang dan klien dapat mengikuti TAK dari awal sampai akhir. Dari penampilannya klien baik, klien tampak berbusana rapi, dan gaya berjalan klien sedang, klien berjalan dengan menyeret kaki dan klien dapat menjawab semua pertanyaan dari tiga pertanyaan yang diberikan oleh tim terapis.
 Tn. H.
Klien kooperatif dalam kegiatan TAK, klien juga tampak senang dan klien dapat mengikuti TAK dari awal sampai akhir. Dari penampilannya klien sedang, klien tampak berbusana biasa, dan gaya berjalan klien kurang, klien berjalan agak membungkuk dan klien dapat menjawab satu pertanyaan dari tiga pertanyaan yang diberikan oleh tim terapis.
 Tn. M.
Klien kooperatif dalam kegiatan TAK, klien juga tampak senang dan klien dapat mengikuti TAK dari awal sampai akhir. Dari penampilannya klien sedang, klien tampak berbusana biasa, dan gaya berjalan klien baik, klien berjalan tegap dan klien dapat menjawab semua pertanyaan dari tiga pertanyaan yang diberikan oleh tim terapis.
 Ny. I.
Klien kooperatif dalam kegiatan TAK, klien juga tampak senang dan klien dapat mengikuti TAK dari awal sampai akhir. Dari penampilannya klien baik, klien tampak berbusana rapi, dan gaya berjalan klien baik, klien berjalan tegap dan klien dapat menjawab semua pertanyaan dari tiga pertanyaan yang diberikan oleh tim terapis.
 Tn. M.
Klien kooperatif dalam kegiatan TAK, klien juga tampak senang dan klien dapat mengikuti TAK dari awal sampai akhir. Dari penampilannya klien baik, klien tampak berbusana rapi, dan gaya berjalan klien sedang, klien berjalan agak membungkuk dan klien dapat menjawab semua pertanyaan dari tiga pertanyaan yang diberikan oleh tim terapis.
 Ny. S.
Klien kooperatif dalam kegiatan TAK, klien juga tampak senang dan klien dapat mengikuti TAK dari awal sampai akhir. Dari penampilannya klien kurang, klien tampak berbusana tidak rapi, dan gaya berjalan klien kurang, klien berjalan dengan tongkat dan klien dapat menjawab semua pertanyaan dari tiga pertanyaan yang diberikan oleh tim terapis.

 Ny. L.
Klien kooperatif dalam kegiatan TAK, klien juga tampak senang dan klien dapat mengikuti TAK dari awal sampai akhir. Dari penampilannya klien baik klien tampak berbusana rapi, dan gaya berjalan klien baik, klien berjalan dengan tegap dan klien dapat menjawab semua pertanyaan dari tiga pertanyaan yang diberikan oleh tim terapis.
 Tn. R.
Klien kooperatif dalam kegiatan TAK, klien juga tampak senang dan klien dapat mengikuti TAK dari awal sampai akhir. Dari penampilannya klien baik, klien tampak berbusana rapi, dan gaya berjalan klien sedang, klien berjalan dengan tegap dan klien dapat menjawab semua pertanyaan dari tiga pertanyaan yang diberikan oleh tim terapis.
 Ny. K.
Klien kooperatif dalam kegiatan TAK, klien juga tampak senang dan klien dapat mengikuti TAK dari awal sampai akhir. Dari penampilannya klien baik, klien tampak berbusana rapi, dan gaya berjalan klien sedang, klien berjalan dengan menyeret dan klien dapat menjawab satu pertanyaan dari tiga pertanyaan yang diberikan oleh tim terapis.
 Tn. S2.
Klien kooperatif dalam kegiatan TAK, klien juga tampak senang dan klien dapat mengikuti TAK dari awal sampai akhir. Dari penampilannya klien baik klien tampak berbusana rapi, dan gaya berjalan klien baik, klien berjalan dengan tegap dan klien dapat menjawab semua pertanyaan dari tiga pertanyaan yang diberikan oleh tim terapis.





BAB IV
KESIMPULAN
4.1. Kesimpulan
Dari pembahasan di atas disimpulkan bahwa, Terapi Aktifitas Kelompok sangat dibutuhkan bagi lansia karena dapat mempertahankan kemampuan stimulasi persepsi lansia, mempertahankan kemampuan stimulasi sensori lansia, mempertahankan kemampuan orientasi realitas lansia dan mempertahankan kemampuan sosialisasi lansia.
Manfaat Terapi Aktivitas Kelompok bagi lansia yaitu agar anggota kelompok merasa dimiliki, diakui, dan dihargai eksistensinya oleh anggota kelompok yang lain, membantu anggota kelompok berhubungan dengan yang lain, serta merubah perilaku yang destruktif dan mal adaptif dan Sebagai tempat untuk berbagi pengalaman dan saling mambantu satu sama lain untuk menemukan cara menyelesaikan masalah.
Hasil Terapi Aktivitas Kelompok semua wisma yang ada di BPS 75.% berpenampilan baik, sekitar 42% memiliki gaya berjalan cukup baik karena klien berjalan masih tegap dan 83,3% klien mampu menjawab pertanyaan yang diberikan terapis, klien tampak memiliki memori cukup baik.

4.2. Saran
4.2.1 Balai Perlindungan Sosial (BPS)
• Diharapkan Terapi Alktivitas Kelompok Lansia (TAK) dimasukan kedalam jadwal kegiatan Rutinitas mingguan ataupun bulanan seperti kegiatan-kegiatan lainnya.
• Disarankan Kegiatan Terapi Aktivitas perwisma diadakan setiap satu kali dalam satu minggu, sedangkan untuk TAK besar ( yang diikuti oleh seluruh wisma disarankan untuk diadakan satu kali dalam satu bulan, dengan tujuan untuk bersosialisasi dan merangsang fungsi kognitif bagi para lansia.

4.2.2 Institusi Pendidikan
Diharapkan Institusi pendidikan dapat meningkatkan mutu pendidikan dan pengajaran dibidang keperawatan gerontik, agar mahasiswa profesi lebih terarah dalam melaksanakan asuhan keperawatan gerontik

4.2.3 Bagi Mahasiswa
• Diharapkan kepada mahasiswa yang akan melaksanakan praktek keperawatan gerontik telah mempersiapkan diri secara kognitif dengan penguasaan konsep asuhan keperawatan gerontik yang lebih matang sehingga tidak banyak mengalami kesulitan dalam mengaplikasikan asuhan keperawatan dilapangan /lahan praktek.
• Harus dapat memanfaatkan waktu dengan sebaik-baiknya pada saat tidak berinteraksi dengan klien, untuk melengkapi dokumentasi asuhan keperawatan serta datang dan pulang tepat waktu.

1 komentar:

  1. bolehkah sy minta contoh proposal TAK tentang peningkatan rasa percaya diri dan menggambar??
    trim's :)

    BalasHapus